Saturday 10 November 2012

Tagged under: ,

Pahlawan Cahaya, Penyulut Jiwa

---> klik play untuk dapatkan 'backsound' tulisan...:)

“Barangsiapa mau menjadi guru, biarkan dia memulai mengajar dirinya sendiri …
sebelum mengajar orang lain, dan biarkan dia mengajar dengan teladan,
sebelum mengajar dengan kata-kata....” (Chairil Anwar)

Hari yang terbungkus pilu, dimana langit yang basah sedang meneteskan bening-bening ke hamparan bumi. Mungkin ini tetesan mata ibu pertiwi yang merindukan hamil kepahlawanan, atau kumpulan isak tangis para almarhum pahlawan yang menggenang di pusaranya.

Di langit yang sama, namun di pijakan berbeda. Ada serial kehidupan calon-calon pahlawan yang merantau ribuan mil dari negerinya. Meski di tengah sergapan udara rindu tanah air yang menusuk tulang, yang terpa hembusannya membuat sekujur badan menggigil mengenang kampung halaman. Beberapa dari mereka telah berupaya keluar dari kandangnya. Menjadi salah satu dari ratusan langkah manusia-manusia fajar yang bangun sebelum matahari benderang, untuk menyongsong kehidupan. Dengan sinar, mereka coba sinari masa depan sebisanya. Denyut geraknya membanggakan.

Cerita ini bermula dalam perjalanan winter. Kala itu, saya merasa beruntung mendapat tumpangan gratis di mobil seorang bapak separuh baya. Dia sosok yang hangat dan bersemangat. Seorang guru yang telah menghabiskan setengah umurnya untuk menjalani profesi mulianya itu, mengabdi untuk anak-anak negeri. Pria yang berdedikasi tinggi meski umurnya tak lagi muda, dengan uban berserakan di rambutnya, dan garis-garis wajah yang mulai menggayut. Ia terbiasa menumpangi setiap pejalan kaki yang tidak memiliki kendaraan, selama bertujuan searah dengannya, “Untuk memecah kebosanan. Supaya ada teman di perjalanan” jawabnya ketika saya bertanya.

Dengan mengenakan kaos yang dilapisi jaket tebal bewarna biru. Sepatu cats sederhana dengan kaos kaki hitam yang kian pudar warnanya. Dalam pandangan awam, beliau sama sekali tidak terkesan sebagai seorang doktor, apalagi jebolan universitas ternama di Australia. Tetapi begitu saya menanyakan kabarnya, si bapak tersenyum pada saya dan tampaklah raut muka yang terang, senyum sumringah dan merdeka. Sekilas, garis-garis ketuaan di wajahnya menjelma menjadi semburat cahaya kebijaksanaan. Saya takjub.

Diskusi egaliter pun mengalir, kami sengaja memilih tema ringan karena kebetulan hari itu kami akan melalui perjalanan panjang dari South Morang menuju Masjid Sunshine. Telah terencana untuk menjemput sejuknya menunaikan ibadah Jumat di Victoria. Di sebuah masjid yang resminya bernama Cyprus Turkish Islamic Community of Victoria, Autralia.

“Anak Bapak tidak ikutan?” tanya saya sambil tersenyum ta’zhim
“Dia sudah mendahului saya..” senyum sang Bapak bersahaja.
“Maaf. Apa dia sudah….?”
“Bukan Nak. Maksud bapak, Anak Bapak yang pertama sudah mendahului Bapak berangkat pagi-pagi ke Kota. Ada kuliah pagi katanya. Ini mau menjemput dia seusai Jum’atan.”

Aduh, saya merasa tak enak atas pertanyaannya barusan. Kini saya mencoba berhati-hati.

“Oh, putra Bapak sudah lama berkuliah disana?”
Alhamdulillah, ini tahun pertamanya. Di keluarga, hanya dia seorang yang jadi Citizen. Bapak juga nggak nyangka, hehe..yang jelas dia berjanji kelak akan menjadi seorang psikolog handal di negeri perantauannya ini.”

Saya tertegun. Kuliah Psikologi dan mendapatkan Citizen di Australia? Hebat!.

“Oh iya, pasti bapak sudah menyiapkan dengan matang persiapan untuk kuliahnya ?”
Alhamdulillah Nak, semua Allah yang mengatur. Anak bapak ada tiga, satu Citizen, dua lainnya Permanent Resident. Ketiganya sedang bersekolah di Australia ini.”
Masya Allah..Luarbiasa. Alangkah bahagia menjadi Bapak dari putra-putra dengan masa depan cerah. Saya kagum sekali pada Bapak yang berhasil mendidik mereka.” saya mengerjap mata dan mendecakan lidah.

Si Bapak mengangguk-angguk dan berulangkali berucap “Alhamdulillah.” Lirih. Matanya berkaca-kaca.

“Oh iya, maaf Pak..Bagaimana dengan kesibukan Bapak sekarang? Tampaknya sedang menikmati masa liburan musim dingin di sini”

Si Bapak sedikit mengurangi kecepatannya. Sejenak menghela nafas dalam-dalam, kedua jari tangannya bergerak pelan memantul-memantul ganggang setir. Lalu dia mencoba tatap lekat-lekat saya.

“Seharusnya saat ini Bapak mengajar, Nak. Tapi mulai semester ini, Bapak sudah tidak mendapatkan jadual, bahkan sekedar untuk memberi bimbingan” si Bapak terdiam. Beliau kembali menghela nafas panjang, menegakkan kepala. Tapi kemudian menggeleng, menerawang ke arah spion sambil mengulum senyum yang entah apa artinya. Saya lagi-lagi harus menyesal telah bertanya. Betul-betul menyesal. Dan ikut prihatin.

“Maaf Pak, kalau pertanyaan saya menyinggung. Bapak mungkin sedih karena kembali memulai hidup yang berat..”
lalu serta merta sang Bapak berkata…

“Oh tidak Nak. Bukan begitu…!” si Bapak cepat-cepat menatap tajam namun lembut pada saya. lalu berkata…
“Bapak justru sangat bersyukur mendapatkan kesempatan ini. Sangat-sangat bersyukur. Sangat-sangat bersyukur!” Si Bapak menepuk-nepuk pundak saya dengan mata berbinar seolah sayalah sang putranya.

“Bapak berterimakasih sekali pada Tuhan. Setidaknya bapak sudah diizinkan berjuang membangun kejujuran akademik di Sekolah...”  

Dengan sedikit membuka kaca mobil, Si Bapak membuang pandangan ke luar, tepatnya ke beberapa sudut pohon Camar, tampaknya dia sedang mengizinkan alam untuk ikut mendengar. Dia kemudian melanjutkan, 

“Enam bulan lalu tepatnya, Bapak sudah tak tahan berdiam diri. Bapak mengkritik birokrasi sekolah agar tidak memanipulasi peforma demi sentimen prestisius. Awalnya tak digubris. Hingga suatu kali bapak merasa perlu menyampaikan langsung kepada rekan-rekan bahwa mengajar bukan masa mengejar jatah, melainkan untuk menyempurnakan bakti amanah…”

Dan,”ujar si Bapak membetulkan kerah jaketnya, “kritik yang berulang-ulang itu, benar-benar membuat Bapak akhirnya dibenci, dan  kehilangan “jatah” untuk mendidik.”  ungkapnya dengan pilu tertahan            

Tiada terasa mentari sudah di atas ubun-ubun langit Victoria, tanda kumandang Jum'at segera menjelang. Saya di sudut mobil dengan panas di ubun-ubun, hati sesak, jiwa menggelegak mendengar gejolak hidup sang Bapak. Dia yang saya kenal selalu menyabet gelar Guru Berprestasi selama 3 tahun berturut-turut, namun diperlakukan seperti ini. Sementara saya bermonolog jiwa. Beliau tetap tersenyum teduh melanjutkan kisahnya...

“Inilah hikmahnya, Nak..  Saya boleh kecewa. Saya boleh berat membayangkan nasib anak didik yang saya khawatirkan. Apalagi sekolah itu, yang terlanjur Bapak cintai, tempat yang menyantuni moral dan spiritual Bapak hingga memperoleh ilmu ke titian tertinggi. Keputusan sekolah benar-benar final untuk “mengistirahatkan” Bapak."

Saya mendecak geram, kepala tetiba tertunduk, dada bergemuruh...

"Tapi...akhirnya Tuhan menunjukkan jalanNya. Bapak tidak perlu mengutuki kegelapan. Ternyata putra Bapak yang nomor pertama itu memberi kabar yang menyejukkan hati. Ia menyelamatkan Bapak. Ia seolah mengundang bapak ke sini melalui prestasinya. Tidak disangka, dia memperoleh anugerah sebagai siswa teladan dari Pemerintah Australia hingga mendapatkan beasiswa penuh. Sungguh penawar luka yang dalam... Bapak seperti diizinkan menata kembali episode keluarga yang selama ini terlupakan. Tanpa ini, mungkin tidak akan pernah ada kesempatan berkumpul seperti sekarang ini!” sang Bapak terisak.

Sunyi. Tak ada kata.

Saya mengambil sapu tangan. Ada genangan yang tumpah…


                                                                                                                                           
…Sebab mereka yang mengajar dirinya sendiri
dengan memperbetulkan perbuatan-perbuatannya sendiri,
lebih berhak atas penghormatan dan kemuliaan  
daripada mereka yang hanya mengajar orang lain
dan memperbetulkan perbuatan-perbuatan orang lain.”
(Chairil Anwar)

Sebuah tulisan yang terinspirasi dari kisah nyata seorang guru Ekonomi, sang pahlawan kami;  
“Sebagai prasasti terima kasihku, tuk pengabdianmu.”
                                                                                                                     



 

0 komentar:

Post a Comment