Wednesday 3 October 2012

Tagged under:

Memo Seorang Tukang Desain | Notes from a Designer


(supaya lebih dramatis, hihi :)



“Apa rasanya ditakdirkan menjadi tangan terakhir untuk menghapus mimpi, 
sementara jalannya sudah dekat, sedang tekadnya sudah bulat?

Saya  bersyukur. Dari sekian banyak student di UIA, saya terpilih menjadi salah satu orang yang menukangi bagian desain SerumpuN. Saya. Dengan segenap ke”somplak”annya, setidaknya masih dapat berbahagia menjadi bagian keluarga ini, SerumpuN warriors. Dalam keadaan tertentu, saya juga dipercayakan untuk mengambil keputusan darurat, seperti meremove foto pembicara yang batal diundang. Oki Setiana Dewi dan Andrea Hirata adalah beberapa contoh korban saya. Bahkan, akhir-akhir ini, sepertinya akan ditugasi untuk mengeksekusi pergantian nama Main Auditorium menjadi tempat lain.

Mengerjakannya, bukanlah perkara sulit, bahkan kadang sambil diselingi tugas lain, seperti menyapu halaman, membesihkan kandang ayam dan menyiangi tanaman. Tidak lama. Hanya perlu waktu paling lama 10 menit, sebelum di save ke dalam format JPEG, yang kemudian di rename dengan “revisi cover proposal.jpg”. Lalu, tidak sampai 5 menit -jika koneksi internet lancar jaya- maka file resmi diterima dalam keadaan sehat wal’afiat ke tangan ketua, bendahara, sekretaris, dll. 

Namun kali ini, sebelum melakukan aktivitas yang sama, sebelum dibuat termenung panjang karenanya. Maka saya ingin mengambil kesempatan. Karena saya terkenang nasihat ini:

Siapa yang memberi nasihat dengan memandang dirinya baik,
 maka dia akan berdiam diri apabila berbuat kesalahan.
 Dan siapa yang memberi nasihat, karena memandang (apa yang ia ucapkan)
sebagai kebaikan dari Allah untuk dirinya, saudaranya, dan keluarganya,
maka dia tidak berdiam diri apabila melihat kesalahan.”

Dengan menyebut namaNya, dengan berharap tetap lurus niat saat menyampaikannya. Maka di beberapa paragraf ke depan, izinkanlah tukang desain ini bercerita. Dibaca pelan-pelan ya..:)

...........

Mengapa Kau Patahkan ? 


Warriors,  mendekatlah..!!
Ceritakan apa kabar saudaramu di sana? Bukan, bukan tentangmu. Karena hendaknya teladan sepertimu selalu baik-baik saja.  Tapi kabar saudaramu, yang biasa disampingmu, si fulan/fulanah itu?   Sehatkah ia? Masihkah ia bersemangat mengejar-ngejar syuting (syuro penting) demi syuting kita. Rapat yang dimulai dari basah kuyup keringat karena berlari-lari menyelesaikan kelas ilmu, atau setelah mensiasati keluangan waktu di agenda yang berjalan padat merayap. Hingga saat rapat digelar masih harus nyambi ngintip bahan-bahan kuliah, sambil ngerjain assignments, bahkan sambil mengingat-ngingat apakah jemuran di Mahalah sudah diangkat pada saat “Gerimis Tak di Undang” mengguyur Gombak dan sekitarnya. 

Masih adakah  aroma ukhuwah dalam pertemuan menyuguhkan berbagai macam hidangan kehangatan? Seperti suasana kemarin pagi, ketika kita sama-sama punya uang. Dengan inisiatif, mengumpulkan ringgit dari kantong masing-masing, untuk kemudian dibelikan  teh manis yang sering berjodoh dengan nasi lemak , dan diberikan kepada saudara kita yang malu-malu karena belum sempat sarapan.

Atau  seperti di saat lain, saat kita sama-sama mebalik-balikkan lembar-lembar rosmul bayan yang dengan seribu akal dipindahkan ke dalam agenda rapat supaya tampak berbobot lagi ilmiah, padahal sebenarnya itu materi yang baru saja didapatkan selang beberapa menit sebelumnya di lingkar-lingkar ukhuwah...:)

Warriors, kemarilah..!
Sekarang jujurlah, apakah keadaannya masih sama?  Masihkah tersisa canda tawa atau lawakan lawas dari stok humor ukhuwah kita? Atau ternyata jebakan rutinitas telah mencuri romantikanya, atau ritme syura yang selalu berulang tanpa inovasi telah merenggut energinya? Padahal beberapa saudara tengah belajar mencintai kebiasaan ini, padahal yang lain tengah berupaya melepas lelah demi menemukan kesejukannya melalui pertemuan ini, atau ternyata kalian telah patah, tengah dirundung rasa bersalah, atau lelah dengan segala kerja-kerja dakwah dan pengorbanannya, atau terlampau asyik dengan kenikmatan lain di dunia lain, atau ruang hatinya telah penuh dengan kecewa akibat prasangka-prasangka yang tak kunjung mendapat tabayyun, atau hanya sekedar salah mengartikan sayang Kekasihnya, Allah SWT, ia kira ia mendapat hukuman padahal sebuah ujian kemuliaan?

Kiranya kita perlu tertunduk sejenak. Tentang secerabut kisah dari pemuda parlente, penggila dunia, yang bahkan kala menyisir rambut sampai melalaikan shalatnya. Benar, inilah dia Umar bin Abdul Aziz, hingga suatu hari hidayah mengetuknya, saat tampuk kepemimpinan dipindahkan ke pundaknya. Ia hijrah. Dengan sebenar-benar hijrah.

“Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz,” ujar almarhum Ustadz Rahmat Abdulah, “dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yang bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam dua tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang”.

Allahuakhbar, sampai disini, sesak rasanya, ada bening yang mengalir


Memperbaiki Rasa Bersalah Kita


“Dakwah bukannya tidak melelahkan.
Bukannya tidak membosankan.
Dakwah bukannya tidak menyakitkan.
Bahkan juga para pejuang risalah
bukannya sepi dari godaan kefuturan”.
(Ust Rahmat Abdullah)

Duhai saudaraku, tentara Allah. Sudah dimana kita sekarang? Bahkan kerja baru saja dimulai, bahkan masih jauh dari kata tuntas…? Apakah kita pantas mengendurkannya? Meskipun beberapa dari kita tak mampu menjamin untuk tetap selalu ada di dalamnya. Tetapi selama asa masih di dada; kelelahan, rasa sakit,  niscaya mengiringi perjalanan cinta. Dan satu kisah heroik, akan segera memaksa kita untuk menyambungnya dengan amalan yang jauh lebih tragis.

Maka ketika ikatan melemah, ingatlah senandung juang itu terlantun dalam nasyid ini:

Wahai tentara Allah bertahanlah,,
jangan menangis walau jasadmu terluka
sebelum engkau bergelar syuhada
tetaplah bertahan dan bersiap siagalah”
(Jejak, Izzatul Islam)

Atas nama kecintaan itu semua duhai saudaraku, bertahanlah, abaikan lelahmu. Atas nama kesabaran itu saudaraku, bersiap-siagalah, lupakan kebosananmu. Atas balasan gelar syuhada itu saudaraku, tinggalkan semua prasangka, bergeraklah ketempat yang lebih tinggi agar kau dapat lihat hakikat-hakikat kemuliaan dan kasih sayang-Nya.

Sekarang, marilah sahabat menilik ke mushaf cinta yang kita miliki, kita bacakan janjiNya, pada surat ke enam puluh tujuh; al-Mulk. Ayat ke tiga puluh.

“Katakanlah (Muhammad), "Terangkanlah kepadaKu jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapa yang akan memberimu air yang mengalir?" (Q.S al-Mulk: 30)

Disini kita memahami, ayat ini mengingatkan dan menguatkan kita atas segala persoalan yang kita hadapi. “Maka siapa yang akan memberimu air yang mengalir?”. Dalam permasalahan kita mungkin konteksnya seperti ini, “Maka siapa yang memberimu Dana?”, “Maka siapa yang menggerakkan pembicara datang?”, “Maka siapa yang memberikanmu tempat?”. Allahlah yang menghadirkan jalan keluar dengan segala kemungkinan yang Allah punya. Atas segala persoalan yang kita hadapi, minta sama Allah. Allah lagi. Allah lagi. Allah terus. Dan semoga, Dia berikan rizqi dari penjuru yang tak diduga.

Setelah itu, mari bersihkan diri dengan air-air wudhu yang sejuk, kemudian tersungkurlah dalam dua rakaat keinsyafan di serambi-serambi suci-Nya, ambil kembali mushaf-mushaf yang telah lama kau tidak nikmati maknanya, lantunkan bait-bait langit sebagai tanda engkau kembali berazam untuk menjadi penghuni langit. Tak perlu malu untuk teteskan air mata di kesepian, di kerinduan yang telah lama kau bendung di kedua kelopak mata dan hatimu.


Dan, Kami Percaya


Kalau boleh,
aku ingin memejam mata
sebentar saja.

Hingga hati bergemericik dalam jernih.
Hingga jiwa bertumbuh dalam peka.
Hingga yang tercenderungi tinggallah
keindahan yg benar,
atau kebenaran yg indah.

Cukuplah,
iman yg menjadi penentu dalam tiap pilihan.
Lalu aku percaya..
(Aditya Rangga Yoga)


Ah, begitu panjangnya si tukang desain bercerita. Memutar-mutar, seperti karakter orang di kampungnya, yang saat ingin menyampaikan A harus bersayap ke poin B hingga Z dulu...:)

Intinya saya mengajak diri saya, juga anda, bahwa selain disibukkan pekerjaan teknis, juga tak lupa mencari hikmah dalam empat keterkaitan indah; bersyukur, bersabar, bertahan dan bersiap-siaga. Pada keempatnya, Allah gandengkan kebaikan, entah dalam keadaan apapun kita. Dalam kesulitan, juga dalam kemudahan. Pada Allah kita kembalikan semuanya. Setiap takdir Allah, yang dimaknai dengan ikhtiyar.

Pilihan rasa adalah pemantik kelapangan hati. Tanpa rasa, cita itu terkadang terbatasi. Sampai-sampai tertutup kesempatan untuk berbuat yang lebih besar, andai tak sejalan dengan cita yang dibayangkan. Padahal, dalam pertimbangan-pertimbangan cita kita teriring lebih banyak prasangka dan ketidaktahuan. Inilah rasa, yang pada akhirnya melapangkan hati untuk menikmati penyesuaian-penyesuaian dengan rencana terbaik Allah untuk kita.

Akhirnya, jazaakumullaahu khairan katsiiraan. Untuk setiap insan yang menjadi pembina setia dalam melatih rasa; guru-guru kehidupan. Hingga tersempat saya mengecap manisnya rasa ukhuwah dan dakwah. SerumpuN selalu menjadi satu diantara 3 cerita hidup saya yang tak pernah sanggup diungkap dengan kata, karena perjalanannya, karena pengorbanan tiap jundi-jundiyahnya selalu menghadirkan linangan air mata. Utamanya, pada yang seolah diam, namun kerjanya seperti memindahkan gunung dan lautan... Terimakasih, semoga tercukuplah balasan Allah, dan cinta dari penduduk langit.



Genderang telah  ditabuh,
Siapkah kita menerima panggilan tersebut?
Bersiap siagalah di pos masing-masing!!

 

Nb:
Masbro, Mbasis... Tolong sisain saya satu tiket!!

0 komentar:

Post a Comment