Friday 29 June 2012

Tagged under:

Jangan Untuk Ke Dua Kalinya

Ia seorang pemuda, semuda keinginan semu untuk mendapatkan apapun yang dikehendakinya. Ia kini sedang gelisah, marah, bercampur gundah tentang letupan-letupan keinginannya. Dan disaat bersamaan seorang hartawan gila mengiminginya harta kekayaan yang tak pernah terbayangkan olehnya, untuk mengabulkan segala ambisinya.


"Baiklah, apa syaratnya ?" terima sang pemuda
"Mudah saja, kau harus rela mengambil hati orang yang paling kamu cintai" tantang sang hartawan gila mencari titik lemah sang pemuda.
"Apa? Apakah kau maksud ibuku?" balasnya.
"Kalau memang dia, ambillah, dan bawakan aku segera!" ujar sang Hartawan disambut tawa gilanya.


Ini adalah cerita tentang watak yang terbelah, antara cinta dan letup keinginan belia, tentang impian tanpa makna dan arah, yang tak terfikir panjang olehnya.


Sesampai di rumah, ditunggunya malam temaram menundukkan cahaya, tenyata ia menunggu ibunya terlelap. Dan saat itu datang, segera ia menusuk tubuh ibunya dan membelahnya, untuk mengeluarkan syarat yang dingini sang Hartawan, "hati orang yang kau cintai".


Kalap, tak tersisa penyesalan di hatinya, ia berlari, sekencang tenaga yang ia miliki, sembari membawa hati wanita yang dianggapnya bernilai sama dengan keinginannya. Ini metafora tentang ketidakjujuran, tentang jiwa yang sakit, tentang karakter yang lemah.


Namun, ia terjatuh!! Lihatlah ia tersungkur akibat terengah-engah memenuhi ambisi-ambisi itu. Sehingga badannya berdebum keras menyusur bumi.
Dan ajaib, hati itu pun dapat berbicara, 
"Apa kau tidak apa-apa nak?"


Pemuda itu bergetar hebat. Keajaiban besar, hati itu mengeluarkan gelombang suara ibunya, kata-katanya terlalu sederhana. Perhatiannya yang biasa ditemuinya, namun kadar jiwa dan makna yang dikandungnya lebih dahsyat dari puisi-puisi yang pernah di dengarnya.


"IBU.. IBU maafkan aku!! Aku.. aku.. ingin uang itu. Kau...kau pun tahu aku akan membahagiakannyaa..!!" sontak dia berteriak sekencangnya. Pengakuan jujur. Uang dan wanita, membuatnya tak sempat memikirkan cinta kasih ibunya sepanjang masa membesarkannya. 


Karena malu dibayang-bayangi rasa penyesalan yang semakin berlipat-lipat, si belia ini bersiap menghunus pisau ke tubuhnya dan kemudian mencongkel-congkel hatinya, dianggapnya ini adalah balasan setimpal dari apa yang diakukannya.

Sebelum sempat melakukannya, hati itu pun berkata untuk kedua kalinya,
"JANGAN, hentikan tanganmu sayang, apakah kau ingin melukai hatiku untuk kedua kalinya??"

Singkat saja. Karena ia memang lahir dari ucapan sang penebar kasih cinta sejati. Dan pecahlah tangis si pemuda sejadi-jadinya malam itu. Kepahitan yang memaksanya sadar dan mempertemukan kita dengan sisi dalam kemanusiaan kita; kekanakan, melankolik, beriring penyesalan.




------------------------------------------
*Cerita yang saya tuliskan kembali,
dari tuturan kisah seorang pemuda di bangku bus Westfield Menuju Mernda.

0 komentar:

Post a Comment