image05 image06 image07

Feature Label Area

Tuesday, 11 March 2014

Tagged under:

Menoleh Ke Puncak Nuang | Catatan Hikmah 2012






Segores kisah lama yang tak lekang dimakan waktu, terawat dan tersimpan di email. Kali ini saya publikasikan dalam mengenang perjalanan penuh hikmah pada 12 Februari 2012, edisi rindu yang tak terkira rasanya..:') 

#Gombak, pukul 05.00 waktu Malaysia.
Kecupak air wudhu menghunus malam. Dan fajar sedikit lagi menyingsing. Beberapa langkah gesa beberapa manusia telah siap menunai janji di bawah LRT Taman Melati. Mereka akan membuat langkah besar pagi itu. Langkah yang membersamai gerak manusia-manusia fajar, yang telah bangun sebelum matahari benderang, yang memburu nafas penuhi pasar-pasar, memadati jalan, hingga menyongsong kehidupan. Dengan sinar lampu apa adanya, mereka rebut peluang. Pertemuan pagi itu, setidaknya menjadi bukti mereka akan menukar kata dengan karya. Sungguh, denyut geraknya membanggakan.
Adalah Restoran Bangladesh  menjadi saksi awal saat amunisi pagi mulai dimasukkanke lambung-lambung kering 9 orang yang dipertemukan dalam satu lingkaran itu. Sarapan pagi inilah yang kelak dikonversi menjadi energi mendaki dalam durasi 8 jam, selain nutrisi dari senyum anak dan istri yang membuat dakwah kian berseri-seri (hehe). Setelah puasmencukupkan diri dengan perbekalan, rombongan kami yang terdiri dua mobil diiringi satu motor ini selanjutnya bergerak mencari surau terdekat, mengejar shaff pertama shalat shubuh.
Maka kekhusyu’an akan datang kepadamu ketika engkau beristirahat dalam shalat. Saat kau rasakan puncak kelemahan diri di hadapan Yang Maha Kuat. Lalu kaupun pasrah, berserah.. Saat itulah, engkau mungkin melihatNya, dan Dia pasti melihatmu. (Ekstase Mi’raj Salim A Fillah)
Sepuluh menit hanyut dalam kenikmatan jamaah di surau penduduk lokal. Dan kami yakin mereka menyadari ada musafir lain yang hadir di shaf mereka hari ini, tak berpeci, tak berpakaian muslim, hanya kaus sepantasnya ditambah bercelana kantong coklat khas kepanduan.
Selesai shalat, waktu semakin mendekat. Tim pendakian yang sebenarnya janjian 30 menit lebih cepat mengalami keterlambatan berangkat. Tidak ada negosiasi. Kita segera berangkat.  Namun sebelum itu, ada sapa dari naqib kepada kami,
Akhi, sembari jalan”, sang naqib berpesan, “tolong basahi dzikir antum hari ini dengan al-ma’tsurat
Seketika kami menginsyafi, bahwa perjalanan ini tetap menghajatkan doa dan kesungguhan.  Dengannya kita ingin menyajikan buah yang paling manis, paling harum, dan paling lembut dari pohon iman yang terus kita sirami dengan amal ketaatan. Shubuh pun terhias rabithah.
Sebaliknya awal-awal keberangkatan ini disergap gelisah. khawatir betul kemudian perbedaan usia, riwayat penyakit dan pengalaman mendaki ini akan jadi perkara. Siapalahyang akan merepotkan dan direpotkan. Namun, ah.. tetiba tersentak dengan firmanNya;

...Dan seandainya mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu QS. At Taubah : 4
#07.30am.
Perjalanan dengan menuju track hiking telah memasuki kaki gunung Nuang, Ini tandanya kami harus bersiap. Menukar seluruh pakaian yang melekat di dada, dengan perlengkapan mendaki. Seperti pesan yang kami terima malam itu, Rumus 2 kantong. Kantong pertama untuk pakaian ganti, kantong kedua segala amunisi untuk peralatan mendaki. Kantong kedua kami terjemahkan sebagai tas ransel yang membawa air minum dan makanan ringan-berat penambal perut. Tidak lupa warming-up. Kegiatan wajib 10 menit untuk mengurangi resiko keram dan cedera.
  
#08.00
Dari sini, berangkatlah kita... Visi kita adalah puncak, dan kita tidak akan berhenti kalau tidak di puncak. Kita yakin bahwa kenikmatan di puncak akan jauh lebih besar dibandingkan kenikmatan yang kita dapatkan di saat kita berhenti di tengah perjalanan ini. Analogi tentang perjuangan meraih surga yang dijanjikan Allah menjadi pelajaran berharga dalam perjalanan ini. Surga diraih dengan sabar dan istiqamah. Jangan berhenti!

Namun, sampai di kalimat ini, catatan yang dijanjikan akan bersambung itu terhenti....:') *ambil saputangan -biarlah foto-foto berikut yang melanjutkannya-


Monday, 10 March 2014

Tagged under:

Pernahkah? (Dari Sebuah Pesan WA)


Pernahkah
Saat kau duduk santai dan menikmati harimu, tiba-tiba kamu terpikirkan ingin berbuat sesuatu kebaikan untuk seseorang..?

Itu adalah Allah…
Yang sedang berbicara denganmu dan mengetuk hatimu…[QS 4:114 , 2:195 , 28:77]

Pernahkah…
Saat kau sedang sedih… kecewa… tetapi tidak ada orang di sekitarmu yang dapat kau jadikan tempat curahan hati..?

Itulah saatnya di mana Allah… Sedang rindu padamu dan ingin agar kamu berbicara padaNYA…
[QS 12:86]

Pernahkah…
Kamu tanpa sengaja memikirkan seseorang yang sudah lama tidak bertemu dan tiba-tiba orang tersebut muncul atau kamu bertemu dengannya atau menerima telepon darinya..?

Itu adalah Kuasa Allah yang sedang menghiburmu.Tidak ada namanya kebetulan…
[QS 3:190-191]

Pernahkah…
Kamu mengharapkan sesuatu yang tidak terduga…
Yang selama ini kamu inginkan…
Tapi rasanya sulit untuk didapatkan..?

Itu adalah Allah…
Yang mengetahui dan mendengar suara batinmu…
Dan hasil dari benih kebaikan yang anda taburkan sebelumnya.
[QS 65:2-3]

Pernahkah…
Kau berada dalam situasi yang buntu… semua terasa begitu sulit…
Begitu tidak menyenangkan… hambar…kosong…
bahkan menakutkan…?

Itu adalah saat di mana Allah mengijinkan kamu diuji, supaya kamu menyadari KeberadaanNYA.
Dan Allah ingin mendengar rintihan dan doamu.
Karena DIA tahu kamu sudah mulai melupakanNYA dalam kesenangan…
[QS 47:31 , 32:21]

Sering Allah mendemonstrasikan KASIH dan KUASANYA di dalam area, di mana saat manusia merasa dirinya tak mampu.

Apakah kau pikir tulisan ini hanya iseng terkirim padamu…?
TIDAK..! Sekali lagi TIDAK ada yang kebetulan…
Beberapa menit ini tenangkanlah dirimu…
Rasakan kehadiran-Nya…

Dengarkan suara-Nya yang berkata:
"Jangan Khawatir, AKU ada disini bersamamu..!"
[QS 2:214 , 2:186, 50:16

Saturday, 20 April 2013

Tagged under:

(Sajak) Dengan Cinta, Kerja, Harmoni




Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita tidak pernah merasa tua
Untuk tetap berusaha
Atau terlampau belia
Untuk menjadi bijaksana

Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita tak pernah terlalu ringkih
untuk menebar kasih
Atau terlampau muda
untuk menumpahkan karya

Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita menukar gerah menjadi gairah
Meminjam amarah, tuk mengukir prestasi bersejarah

Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita lompati riak-riak beda dan benci
Dengan nurani, kita cipta irama padu nan serasi

Dengan cinta, kerja, harmoni
Walau duri merentas kaki
Walau terik mencacah diri
Namun masih tersisa senyum yang luluhkan hati….:) #ihirrr
   
Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita rangkul barisan sakit hati, sakit kepala, hingga sakit gigi
Menjadikannya kumpulan ramah hati, sang produsen aksi
  
Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita tidak sedang membuka klinik tongfang
Namun menyediakan rumah cinta untuk para pejuang

Dengan cinta, kerja, harmoni
Meski tampang sekuriti, meski hati hello kitty
Tapi kisah dakwah lebih romantis dari Ainun-Habibie…:D  


Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita memilih menyalakan lentera
saat yang lain menyalahkan gulita
Melanjutkan mimpi indah dalam shaf-shaf yang terjaga

Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita tidak merasa gemuk untuk ikut berlari-lari
Juga tidak tergesa mulia saat banyak berkontribusi
 
Dengan cinta, kerja, harmoni
Lambung-lambung telah jauh dari pembaringan
Kenyang dan nyaman 
bukan lagi kawan perjalanan
 
Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita tidak merasa kehabisan akal untuk memberi
Sebaliknya, selalu kehabisan waktu untuk unjuk amalan diri

Dengan cinta, kerja, harmoni
diam-diam seakan pindahkan badai dan lautan
luput terliput oleh hingar-bingar pengakuan

Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita bukanlah si buas pengejar jabatan
kita sahabat insan, pengemban misi kemanusiaan

Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita sibak kanvas-kanvas duka bangsa  
Melukisnya kembali dengan warna-warni syurga

Dengan cinta, kerja, harmoni
Kita persembahkan negeri tumpah darah
Menjadikannya sepenggal firdaus untuk Indonesia
  
@fauzulazmifahri


Tuesday, 22 January 2013

Tagged under:

Pengemis Itu, Aku




Pengemis itu, aku Ya Allah 
yang telah lupa dosa-dosanya yang lalu, 
sedangkan catatan aibnya masih terpelihara disisiMu…

Pengemis itu, aku Ya Allah 
senantiasa mengingati kebaikan-kebaikan di masa lampau,
sedangkan dia sendiri tidak tahu, 
bahwa mungkin saja pahala itu tlah menjadi asap olehMu…

Pengemis ini, aku Ya Allah
kecemburuannya pada dunia, 
menyibukkan dia berkejar-kejar meraihnya
hingga lupa bersyukur bahwa Engkau telah titipkan iman dinafasnya

Pengemis ini, aku Ya Allah… 
keangkuhannya pada kampung akhirat, 
membuatnya tiada rindu untuk sejenak melihat dengan memperbanyak taubat

Ya Allah… Pengemis ini, aku ….
yang ternyata lebih faqir dari pengemis manapun
yang di mangkuknya tidak tersisa receh untuk membeli surgaMu




Saturday, 10 November 2012

Tagged under: ,

Pahlawan Cahaya, Penyulut Jiwa

---> klik play untuk dapatkan 'backsound' tulisan...:)

“Barangsiapa mau menjadi guru, biarkan dia memulai mengajar dirinya sendiri …
sebelum mengajar orang lain, dan biarkan dia mengajar dengan teladan,
sebelum mengajar dengan kata-kata....” (Chairil Anwar)

Hari yang terbungkus pilu, dimana langit yang basah sedang meneteskan bening-bening ke hamparan bumi. Mungkin ini tetesan mata ibu pertiwi yang merindukan hamil kepahlawanan, atau kumpulan isak tangis para almarhum pahlawan yang menggenang di pusaranya.

Di langit yang sama, namun di pijakan berbeda. Ada serial kehidupan calon-calon pahlawan yang merantau ribuan mil dari negerinya. Meski di tengah sergapan udara rindu tanah air yang menusuk tulang, yang terpa hembusannya membuat sekujur badan menggigil mengenang kampung halaman. Beberapa dari mereka telah berupaya keluar dari kandangnya. Menjadi salah satu dari ratusan langkah manusia-manusia fajar yang bangun sebelum matahari benderang, untuk menyongsong kehidupan. Dengan sinar, mereka coba sinari masa depan sebisanya. Denyut geraknya membanggakan.

Cerita ini bermula dalam perjalanan winter. Kala itu, saya merasa beruntung mendapat tumpangan gratis di mobil seorang bapak separuh baya. Dia sosok yang hangat dan bersemangat. Seorang guru yang telah menghabiskan setengah umurnya untuk menjalani profesi mulianya itu, mengabdi untuk anak-anak negeri. Pria yang berdedikasi tinggi meski umurnya tak lagi muda, dengan uban berserakan di rambutnya, dan garis-garis wajah yang mulai menggayut. Ia terbiasa menumpangi setiap pejalan kaki yang tidak memiliki kendaraan, selama bertujuan searah dengannya, “Untuk memecah kebosanan. Supaya ada teman di perjalanan” jawabnya ketika saya bertanya.

Dengan mengenakan kaos yang dilapisi jaket tebal bewarna biru. Sepatu cats sederhana dengan kaos kaki hitam yang kian pudar warnanya. Dalam pandangan awam, beliau sama sekali tidak terkesan sebagai seorang doktor, apalagi jebolan universitas ternama di Australia. Tetapi begitu saya menanyakan kabarnya, si bapak tersenyum pada saya dan tampaklah raut muka yang terang, senyum sumringah dan merdeka. Sekilas, garis-garis ketuaan di wajahnya menjelma menjadi semburat cahaya kebijaksanaan. Saya takjub.

Diskusi egaliter pun mengalir, kami sengaja memilih tema ringan karena kebetulan hari itu kami akan melalui perjalanan panjang dari South Morang menuju Masjid Sunshine. Telah terencana untuk menjemput sejuknya menunaikan ibadah Jumat di Victoria. Di sebuah masjid yang resminya bernama Cyprus Turkish Islamic Community of Victoria, Autralia.

“Anak Bapak tidak ikutan?” tanya saya sambil tersenyum ta’zhim
“Dia sudah mendahului saya..” senyum sang Bapak bersahaja.
“Maaf. Apa dia sudah….?”
“Bukan Nak. Maksud bapak, Anak Bapak yang pertama sudah mendahului Bapak berangkat pagi-pagi ke Kota. Ada kuliah pagi katanya. Ini mau menjemput dia seusai Jum’atan.”

Aduh, saya merasa tak enak atas pertanyaannya barusan. Kini saya mencoba berhati-hati.

“Oh, putra Bapak sudah lama berkuliah disana?”
Alhamdulillah, ini tahun pertamanya. Di keluarga, hanya dia seorang yang jadi Citizen. Bapak juga nggak nyangka, hehe..yang jelas dia berjanji kelak akan menjadi seorang psikolog handal di negeri perantauannya ini.”

Saya tertegun. Kuliah Psikologi dan mendapatkan Citizen di Australia? Hebat!.

“Oh iya, pasti bapak sudah menyiapkan dengan matang persiapan untuk kuliahnya ?”
Alhamdulillah Nak, semua Allah yang mengatur. Anak bapak ada tiga, satu Citizen, dua lainnya Permanent Resident. Ketiganya sedang bersekolah di Australia ini.”
Masya Allah..Luarbiasa. Alangkah bahagia menjadi Bapak dari putra-putra dengan masa depan cerah. Saya kagum sekali pada Bapak yang berhasil mendidik mereka.” saya mengerjap mata dan mendecakan lidah.

Si Bapak mengangguk-angguk dan berulangkali berucap “Alhamdulillah.” Lirih. Matanya berkaca-kaca.

“Oh iya, maaf Pak..Bagaimana dengan kesibukan Bapak sekarang? Tampaknya sedang menikmati masa liburan musim dingin di sini”

Si Bapak sedikit mengurangi kecepatannya. Sejenak menghela nafas dalam-dalam, kedua jari tangannya bergerak pelan memantul-memantul ganggang setir. Lalu dia mencoba tatap lekat-lekat saya.

“Seharusnya saat ini Bapak mengajar, Nak. Tapi mulai semester ini, Bapak sudah tidak mendapatkan jadual, bahkan sekedar untuk memberi bimbingan” si Bapak terdiam. Beliau kembali menghela nafas panjang, menegakkan kepala. Tapi kemudian menggeleng, menerawang ke arah spion sambil mengulum senyum yang entah apa artinya. Saya lagi-lagi harus menyesal telah bertanya. Betul-betul menyesal. Dan ikut prihatin.

“Maaf Pak, kalau pertanyaan saya menyinggung. Bapak mungkin sedih karena kembali memulai hidup yang berat..”
lalu serta merta sang Bapak berkata…

“Oh tidak Nak. Bukan begitu…!” si Bapak cepat-cepat menatap tajam namun lembut pada saya. lalu berkata…
“Bapak justru sangat bersyukur mendapatkan kesempatan ini. Sangat-sangat bersyukur. Sangat-sangat bersyukur!” Si Bapak menepuk-nepuk pundak saya dengan mata berbinar seolah sayalah sang putranya.

“Bapak berterimakasih sekali pada Tuhan. Setidaknya bapak sudah diizinkan berjuang membangun kejujuran akademik di Sekolah...”  

Dengan sedikit membuka kaca mobil, Si Bapak membuang pandangan ke luar, tepatnya ke beberapa sudut pohon Camar, tampaknya dia sedang mengizinkan alam untuk ikut mendengar. Dia kemudian melanjutkan, 

“Enam bulan lalu tepatnya, Bapak sudah tak tahan berdiam diri. Bapak mengkritik birokrasi sekolah agar tidak memanipulasi peforma demi sentimen prestisius. Awalnya tak digubris. Hingga suatu kali bapak merasa perlu menyampaikan langsung kepada rekan-rekan bahwa mengajar bukan masa mengejar jatah, melainkan untuk menyempurnakan bakti amanah…”

Dan,”ujar si Bapak membetulkan kerah jaketnya, “kritik yang berulang-ulang itu, benar-benar membuat Bapak akhirnya dibenci, dan  kehilangan “jatah” untuk mendidik.”  ungkapnya dengan pilu tertahan            

Tiada terasa mentari sudah di atas ubun-ubun langit Victoria, tanda kumandang Jum'at segera menjelang. Saya di sudut mobil dengan panas di ubun-ubun, hati sesak, jiwa menggelegak mendengar gejolak hidup sang Bapak. Dia yang saya kenal selalu menyabet gelar Guru Berprestasi selama 3 tahun berturut-turut, namun diperlakukan seperti ini. Sementara saya bermonolog jiwa. Beliau tetap tersenyum teduh melanjutkan kisahnya...

“Inilah hikmahnya, Nak..  Saya boleh kecewa. Saya boleh berat membayangkan nasib anak didik yang saya khawatirkan. Apalagi sekolah itu, yang terlanjur Bapak cintai, tempat yang menyantuni moral dan spiritual Bapak hingga memperoleh ilmu ke titian tertinggi. Keputusan sekolah benar-benar final untuk “mengistirahatkan” Bapak."

Saya mendecak geram, kepala tetiba tertunduk, dada bergemuruh...

"Tapi...akhirnya Tuhan menunjukkan jalanNya. Bapak tidak perlu mengutuki kegelapan. Ternyata putra Bapak yang nomor pertama itu memberi kabar yang menyejukkan hati. Ia menyelamatkan Bapak. Ia seolah mengundang bapak ke sini melalui prestasinya. Tidak disangka, dia memperoleh anugerah sebagai siswa teladan dari Pemerintah Australia hingga mendapatkan beasiswa penuh. Sungguh penawar luka yang dalam... Bapak seperti diizinkan menata kembali episode keluarga yang selama ini terlupakan. Tanpa ini, mungkin tidak akan pernah ada kesempatan berkumpul seperti sekarang ini!” sang Bapak terisak.

Sunyi. Tak ada kata.

Saya mengambil sapu tangan. Ada genangan yang tumpah…


                                                                                                                                           
…Sebab mereka yang mengajar dirinya sendiri
dengan memperbetulkan perbuatan-perbuatannya sendiri,
lebih berhak atas penghormatan dan kemuliaan  
daripada mereka yang hanya mengajar orang lain
dan memperbetulkan perbuatan-perbuatan orang lain.”
(Chairil Anwar)

Sebuah tulisan yang terinspirasi dari kisah nyata seorang guru Ekonomi, sang pahlawan kami;  
“Sebagai prasasti terima kasihku, tuk pengabdianmu.”