Friday 8 June 2012

Tagged under:

Halau Prasangka, dan Berlarilah ke Pintu Syurga

“Tak terasa lagi nikmatnya bersama, setelah prasangka mencurangimu dengan meringkus keterpaduanmu, dengan memupus kemesraanmu, dari kenikmatanmu bersungguh-sungguh.” (Fauzul, 2012)

Ia pribadi sederhana. Seorang Anshar dengan paras teduh, dengan janggut masih terbasahkan oleh bulir air wudhu. Ia berjalan memasuki majelis Rasulullah dengan tangan kiri menjinjing sandal. Tanpa sepengetahuannya, sesaat sebelumnya  sahabat dibuat penasaran siapa lelaki yang disebut sang Nabi ini. “Sebentar lagi,” ucap sang baginda ditengah memberi nasehat, “akan lewat di hadapan kalian seorang lelaki penghuni syurga”

Seperti yang kita pahami dari hadits mahsyur ini, yang disampaikan Anas Ibn Malik dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Nasa’i, bahwa kemudian Rasulullah hingga tiga kali menyebut kedatangan salah seorang penghuni syurga di majelis cahayanya, dan selanjutnya diiringi kemunculan sosok sederhana yang sama, lelaki anshar itu.

“Demi Allah, tentang apa yang aku amalkan ini,” ujar lelaki syurga itu setelah dibuntuti selama tiga hari oleh Abdullah Ibn Amr, “tak lebih dari apa yang kau saksikan.” Hampir saja Abdullah Ibn Amr menyerah dan merasa usahanya percuma, sebelum ia mendengar lanjutannya, “Hanya saja saja aku tak pernah menyimpan niat buruk terhadap saudaraku sesama muslim. Aku juga tak pernah ada rasa dengki kepada mereka yang mendapat anugerah dari Allah”.

“Begitu bersihnya hatimu,” Abdullah Ibn Amr membalas,  “dari prasangka buruk dan perasaan dengki kepada orang lain. Inilah nampaknya keutamaan yang membuatmu berada di tempat yang termulia itu. Sesuatu yang tak dapat aku lakukan”.

Mencari hikmah dari cerita ini, saya dapatkan kesimpulan bahwa membenamkan ria-riak prasangka rupanya menjadi sebuah kunci sederhana untuk menjemput pintu syurga. Hati yang bersih dari prasangka akan tampak sederhana, sesederhana dirinya menjaga keikhlasannya, dan tidak semua insan bisa melakukannya. “Sesuatu yang tak mudah aku lakukan” ujar Abdullah Ibn Amr.

Syurga dari kisah itu, seperti tempat yang dipenuhi insan yang lembut hati, lembut lisan, dan lembut akhlaqnya. Begini sederhananya; “dengan memangkas prasangka, jadilah insan yang lembut hatinya. Memangkas dusta, jadilah insan lembut lisannya. Memangkas dosa, jadilah insan yang lembut akhlaqnya.”

Memutar jenak ingatan, sebelum menulis catatan ini, saya seperti diingatkan kembali pada potongan tulisan ketika pernah menorehkannya di status media sosial, diangkat dari catatan kecil selepas melingkar, berjudul “Membenahi Prasangka Kita”

"Sungguh kita pun berhak, menilai saudara kita yang kita cintai dari yang tampak oleh kita. Namun, jangan sekali-kali kau menghukuminya dari yang luput oleh kasat mata; baik niatnya, motifnya, dan kepentingannya. Karena sungguh, itu urusanya dengan Tuhannya.” (3 Januari 2012)

Mari kita kembalikan pada diri ini. Kita, dengan tingkat keimanan yang tiada seberapa, “Mengapa terasa begitu ringannya berprasangka?” Bahkan, menyangkut kepribadian orang lain, tanpa selektif, merasa tidak perlu informasi lebih lanjut ketika menemukan kesalahan pada dirinya, karena merasa cukup pengetahuan mengenai jati dirinya, dan seolah-olah memiliki otoritas untuk membuat kesimpulan penuh untuk menggambarkan seluruh kepribadiannya.

“Prasangka itu,” sebagaimana dikutip Liliweri (2001), “merupakan salah satu rintangan untuk kegiatan komunikasi. Manusia yang berprasangka, akan mendahulukan sikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi.”

Derasnya prasangka, membuat emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar duga-duga (syak wasangka). Sekali prasangka itu sudah mencekam, maka otak seperti tidak mendapatkan kesempatan untuk mengambil keputusan secara jernih, objektif, dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilai negatif.

Hal yang menyakitkan dari hadirnya prasangka ini, betapa mudahnya merenggut nurani, sedetik saja prosesnya, dan yang terinfeksi akan segera menutup mata pada ratusan kebaikan insan yang disangkai. Pada tahap yang kritis, prasangka akan merenggut kasih sayang terhadap orang-orang beriman, sehingga mengantarkannya untuk turut membenci keshalihan.

Maka dari itu, kita senantiasa diajarkan doa ini, “ Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10)

Saya buka kembali ingatan 3 tahun yang lalu, kala dileraikan dalam sebuah perdebatan. “Hadirkan 100 pertanyaan!,” dengan tegas sahabat saya mengingatkan, “mengapa antum merasa harus membencinya? Jika ghil di hati itu  masih belum pudar, berikan kesempatan ia dengan 100 pertanyaan lagi.”

Apa yang terjadi? Belum sampai pada pertanyaan ke sepuluh, kebencian itu sirna. Dan saya tersadar; “tidak ada manusia yang benar-benar nista, kecuali karena kita belum mengenalnya dengan utuh.”

Ah, pertanyaan ini mengingatkan saya pada sang teladan Rasulullah SAW, sang pemaaf itu, bahkan ketika mendapatkan kabar dirinya difitnah Abdullah bin Ubay, ia masih ingin memastikan bahwa Zaid bin Arqam sudah menyeksamai beritanya dengan baik. “Mungkin kau sedang marah padanya?”,  “Mungkin kau tidak jelas mendengarnya?”,  “Mungkin ada kata-katanya yang kamu lupa?”

Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, seorang imam yang zuhud dari kalangan sufi itu  memiliki 6 tips agar selalu bersangka baik terhadap seluruh klasifikasi insan, simaklah:

1) Jika engkau bertemu dengan seseorang, maka yakinilah bahwa dia lebih baik  darimu. Ucapkan dalam hatimu : “Mungkin kedudukannya di sisi Allah jauh lebih baik dan lebih tinggi dariku”

2) Jika bertemu anak kecil, maka ucapkanlah dalam hatimu : “Anak ini belum bermaksiat kepada Allah, sedangkan diriku telah banyak bermaksiat kepadaNya. Tentu anak ini jauh lebih baik dariku”.

3) Jika bertemu orang tua, maka ucapkanlah dalam hatimu: “Dia telah beribadah kepada Allah jauh lebih lama dariku, tentu dia lebih baik dariku.”

4) Jika bertemu dengan seorang yang berilmu, maka ucapkanlah dalam hatimu: “Orang ini memperoleh kurnia yang tidak akan kuperolehi, mencapai kedudukan yang tidak akan pernah kucapai, mengetahui apa yang tidak kuketahui dan dia mengamalkan ilmunya, tentu dia lebih baik dariku.”

5) Jika bertemu dengan seorang yang bodoh, maka katakanlah dalam hatimu : “Orang ini bermaksiat kepada Allah kerana dia tidak tahu, sedangkan aku bermaksiat kepadaNya padahal aku mengetahui akibatnya. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir umurku dan umurnya kelak. Dia tentu lebih baik dariku.”

6) Jika bertemu dengan orang kafir, maka katakanlah dalam hatimu : “Aku tidak tahu bagaimana keadaannya kelak, mungkin di akhir usianya dia memeluk Islam dan beramal soleh. Dan mungkin boleh jadi di akhir usia diriku kufur dan berbuat buruk.

“Ucapkanlah dalam hatimu”, nasehat Syeikh Abdul Qadir ini seperti menuntun qalbu berdiskusi. Sejujurnya, ini bentuk interaksi yang teramat sering kita lupakan. Kala hati mampu bicara dan nurani mampu mensehati. Dan 6 nasehat indah ini, sekaligus menjadi rahasia mengapa sang lelaki syurga begitu mudahnya diingat Rasulullah sebagai penghuni syurga, yang tidak menyadari bahwa amalannya dikagumi Allah dan penduduk langit, hingga kisah itu mengabadi.

Hm, terlalu panjang saya berbagi cerita yang pernah saya baca. Ini petanda saya sedang berusaha merenungi berbagai hikmah cerita ini dengan mendalam. Eh, sebentar, jangan-jangan yang menuliskan catatan ini juga orang yang berprasangka buruk? T_T, Ya Allah ampunilah dia & bimbing dia untuk menyembuhkannya.

Berbaik sangka pada Allah itu menenteramkan.
Berbaik sangka kepada sesama itu meringankan.
Berbaik sangka yang membuat hidup selalu tercukupkan.
Berbaik sangka yang membuat kisah perjuangan menjadi kebahagiaan.


-------------------------

Dari Dhuha hingga Ashar. Kala tersadar amal yang masih sedikit dan keluhan yang tak berhenti, kala tersadar limpah kasihMu tuk wujudkan benih syukur..:) Setelah puas memutar-mutar Walk Me Down the Middle dan Untukmu Teman secara berulang-ulang. Hingga meluangkan waktu untuk sejenak menata hati, memikirkan kuliah, SerumpuN 2, FoTar, FoSSEI, Buletin, serta pilihan-pilihan yang pernah dan akan diputuskan ke depan. Sementara saya harus terus belajar membagi pikiran, untuk: ujian, prestasi, perbaikan diri. Baiklah, saya akan belajar lagi…:)

2 komentar:

  1. :)
    stiap pribadi memang punya 'warna' tersendiri

    prasangka dibutuhkan untuk tahu seberapa besar kepekaan kita sama tman, terutama prasangka baik,, that's the main
    apalagi prasangka sama Allah, karna kata-Nya "Aku adalah prasangka hamba-Ku..."

    hmmmmmm, saya jadi malu

    ^^

    ReplyDelete
  2. Subhanallah, ingat sekali 2 tahun yg lalu waktu membedah "Facing The Giant". kalimat yang sama pernah diucap :"Aku adalah prasangka hamba-Ku..." Makasih atas tambahannya tuti.

    ReplyDelete