Sunday 3 June 2012

Tagged under:

Kita dan Kegenitan Kita (Sebuah Refleksi)

Maghrib ini saya dikejutkan dengan status facebook saudara tersayang, 
"Ya اللّهُ bila kelak aku mempunyai istri, berikanlah aku istri yang tidak centil, tidak genit, dan tidak narsis di depan umum, yang selalu menjaga harga dirinya dan diriku sebagai suaminya. Cukup hanya untukku saja centil,genit dan narsisnya. Cukup."

Saya termasuk yang mengaminkan doa ini dengan kencang. Pakai nada tenor malah..:D Tidak berselang lama, kemudian dibalas komentar yang menambah riuh suasana; 
“Jangan pernah bosan berdo'a, semoga di dekatkan jodohnya, dapet yang sholeha, punya binaan 3 kelompok, aktif di lingkungan, kampus dan masyarakat, hapalannya banyak, semampai dan yang lagi 'trend' berkulit putih. *tring-menghilang*”

Ah, pembicaraan ini mulai genit. Saya sebenarnya hanyut dalam diskusi yang telah dihadiri berpuluh-puluh respon, sambil tersenyum masam saya menyimpulkan, ini dialog dari para lelaki sholeh yang rasa cintanya masih meremaja. Akhirnya, saya mencoba sejenak mengambil jeda, kemudian menilai seimbang; setiap keterpilihan insan berpasang-pasang, bukankah melalui cerminan diri? Sebab yang kita pahami dari Surat an-Nur:26, bahwa hukum kausalitas itu berlaku; bila kita adalah baik, maka ia adalah jodoh terbaik, bila kita jahat, begitu pula yang kita dapatkan. Sehingga, setiap insan memiliki kesempatan yang sama untuk merevaluasi; “seberapa pantas dirimu menilaiku?”

Belumlah sempurna tampanmu kawan, saat dipandang tak tampak surga terbayang. Dan ia belum sempurna jelitamu sahabat, sebelum mengalahkan seribu sakit berhimpun, tulang berlolosan, syaraf tercabik, robekan pedih, darah bersimbah, namun tetap tersenyum untuk janin yang kau lahirkan. Subhanallah, bila ini ukuran cantik dan tampan itu sahabat, takkan ada kata yang mampu saingi oleh jelita-jelita surgawi itu selamanya.

Berkenaan dengan kisah si centil dan si jelita, saya teringat kisah yang dituturkan oleh Ust. Salim A. Fillah dari lembar buku Jalan Cinta Para Pejuang, dari sebuah riwayat oleh para Imam pemilik Kitab Sunan yakni Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah.

Suatu ketika seorang wanita shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia seorang wanita yang sangat cantik, secantik-cantik wanita. Ibnu ‘Abbas bersaksi: “Demi Allah, Aku belum pernah melihat wanita secantik dia.” Wanita itu langganan menempati shaff terdepan di barisan para wanita.”

Tanpa diduga, keberadaan sang wanita membelah sikap para shahabat dalam berjama’ah. Sebagian berupaya keras datang lebih awal dan mengambil tempat di shaff terdepan agar jangan sampai melihatnya. Agar tak sempat tergoda. Tetapi ada juga sebagian lainnya yang melambatkan kehadirannya. Mengakhirkan diri agar mendapatkan shaff terbelakang di barisan lelaki, agar curi-curi pandang bisa leluasa dilakukan. Ketika ruku’ mereka merenggangkan kedua tangan, menyeksamai kecantikannya melalui celah ketiak mereka.

Inilah sahabat Rasulullah. Inilah sahabat Rasulullah! Inilah generasi terbaik. Di antara mereka juga terdapat ekspresi ketertarikan, keterpesonaan. Bahkan ekspresi itu berupa kelaukan ‘curi-curi pandang’ yang rasanya unik, lucu, dan menggelikan karena justru dilakukan dalam shalat jama’ah bersama Rasulullah.

“Adalah salah besar,” ujar Ust. Salim A. Fillah “membayangkan mereka melulu seperti rahib apalagi seperti malaikat.” Mereka tetap manusia. Ya, mereka adalah manusia dengan segala kecenderungan fitri yang tak bisa ditipu dan dikelabui. Tetapi kecenderungan itu menjuraikan kemuliaan, karena mereka ridha pada Allah yang mengaturnya.”

Dan Maha Suci Allah, Yang Maha Mengerti kecenderungan ini, Ia sindir mereka dengan kalimat yang sangat santun, mengena, dan memasuki relung di mana berbagai ketertarikan fitri itu besamayam :

“Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu daripada-mu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang mengakhirkan diri.” (QS Al Hijr : 24)

Ada getar hati untuk sejenak menangis. Merasakan bahwa kalimat itu menghunjam masuk, menukik tajam, dan membangkitkan kembali rasa malu, pengendalian diri, dan taqwa. Dan mereka, para sahabat, menjadi guru-guru kita dalam menyadari, “bahwa cinta harus bersujud di mihrab taat.”

Cerita ini menabur hikmah, hingga kita pun faham, kegenitan acapkali terlahir akibat begitu banyak amal yang tertunda akibat mengakhirkannya, dan menambah besarnya angan. “Kami ini,” kilah seorang sahabat, “menunda bukan karena niat yang tak ingin menyegera. Secara umum yang kami dapati, disebabkan oleh lingkungan yang belum terkondisikan. Namun sungguh tidak bijak jika menyalahkan keadaan. Karena niatlah yang mengubah cerita, menggerakkan pembuktian-pembuktian terhadap lingkungan hingga mampu dipercaya untuk mengkondisikan.”

“Biarlah namamu
tertulis di Lauh Al Mahfudz saja
tak perlu di catatan harianku

Sungguh, hanya karena
aku memang tak tahu
dan tak ingin menebak-nebak” (Yoga, 2010)

Pahit nian dikatakan genit, namun inilah kita…
(Silahkan nikmati nasehatnya dalam lagu ini:http://www.reverbnation.com/play_now/song_12885081 )

0 komentar:

Post a Comment